Jumat, 04 Januari 2013

Dongeng Binatang Anak Pipit dan Kera


Ada kera yang tinggal di sebuah pohon di tepi danau. Kera itu ditinggal kawan-kawannya karena egois, menganggap pohon kesukaannya sebagai milik sendiri. Kera lain tak diizinkannya tinggal, bahkan pinggiran danau itu pun dianggap kekayaan pribadi. Seekor itik sebenarnya selalu pergi ke tempat itu. Dia biasa mandi sampai puas, dan mencari makan di situ sampai kenyang. Kera yang mula-mula diam, begitu mendapatai air jadi keruh marah-marah pada si itik.
“Hei, … tak tahu malu! Ini kan tempatku!” kata kera membentak itik. “Ngaca dong, rupamu tak elok! Patuk seperti sendok! Mata sipit seperti kutu busuk! Sayap lebar seperti atap nipah! Jari-jari berselaput! Pergi sana itik jelek!” Tentu saja itik malu dan sakit hati. Ia ingin menantang kera berkelahi, tapi dia tahu pasti akan kalah karena badannya kecil. Dia pun pergi sambil menangis.
Kepergian itik diperhatikan burung pipit yang sedang menyuapi anak-anaknya. “Hai itik, mengapa kau menangis di jalanan? Mungkinkah kau dapat kutolong?”
“Kera besar di tepi danau menghinaku,” jawab itik. “Aku malu.Itulah kenapa aku menangis.”
“Ooo begitu. Sudah diamkans aja, dia memang begitu.”
“Begini saja. Sekarang jangan menangis lagi. Dan besok, … pergilah ke danau itu seperti biasa, mandilah sepuasmu dan carilah makan yang kau mau,” kata pipit menghibur.
“Aku takut! Aku malu dimaki-maki kera itu.”
“Jangan takut! Kalau kera itu memakimu balaslah! Sebutkan segala keburukannya!” Induk pipit pun mengajari itik membalas olok-olok kera.
“Terima kasih. Kalau begini aku akan mandi lagi ke danau itu seperti nasihatmu.” Dengan perasaan tenang, itik kembali ke rumah. Kekesalannya sudah terhibur dengan nasihat induk pipit.
Hari esoknya, itik itu mandi sepuas-puasnya di danau seperti biasa. Bukan main marahnya kera menemukan air danau jadi keruh lagi. “Hei, berhenti! Apa kau tak punya malu?” jeritnya dari atas dahan. Itik pura-pura tidak mendengar. Dia terus mandi dan mengepak-ngepakkan sayapnya,.. berulang-ulang seperti itu sampai puas.
Kera pun kembali mencaci itik sepuas-puasnya. Kali ini si itik mendengarkan dengan tenang, sambil menunggu kesempatan membalasnya. Setelah kera selesai menjelek-jelekkan, itikmulai ambil bagian.
“Apakah engkau merasa cantik, hai monyet?? Berkacalah di muka air danau ini, … Perhatikan tubuhmu ditumbuhi bulu-bulu kasar! Tatap kepalamu, … seperti ampas mangga hutan! Dan dengar ya monyet, … Telapak tanganmu hitam kotor!”
Sebelum lengkap itik mencaci, kera itu sudah menyela, “Mulut lancang! Pasti ada yang mengajarimu!” “Tentu saja monyet angkuh! Tak jauh dari sini ada induk pipit membuat sarang, … dialah yang memberitahu aku keburukanmu itu.” “Kurang ajar! Aku akan datang ke sarangnya!”
Kali ini itik bisa pulang dengan rasa senang. Tidak lupa dia kabari burung tentang niat busuk kera sombong. “Ow!!! Alangkah bodohnya engkau!” kata induk pipit. “Mestinya tak kau tunjukkan yang ngajari kamu! Jadi kamu tak hanya jelek, engkau pun tolol,” kata pipit kecewa.
Sebelum induk pipit mengungsi, kera sudah datang dan menerkam. Dengan sigap pipit pun terbang, walau anak-anaknya tidak terselamatkan. Dengan jengkel si kera memasukkan anak pipit ke mulut. Sarang pipit diacak-acak, dia diami pohon itu sambil menunggu pipit kembali. Dia merencanakan, bila pipit mencari anaknya akan ia terkam induk itu.
Sementara itu anak pipit ketakutan di dalam kegelapan mulut kera. Sebaliknya, si kera takut bila anak pipit itu terbang. Anak pipit pun mengeluh, dan selalu dijawab kera dengan menggumam.
“Apakah Ibuku sudah datang?” “Mmm-mmm …!”
“Apakah Ibuku sudah mandi?” “Mmrn-mmm …!”
“Apakah bapak ibuku sudah tidur?” “Ha-ha-ha-ha-ha …!”
Kera tak dapat menahan geli, mulutnya terbuka lebar, dan … brrrrr anak pipit langsung terbang.
“Kurang ajar!” kera menyumpah sejadi-jadinya.
Kera merasa tertipu, apalagi anak pipit itu meninggalkan kotoran sesuatu di lidahnya. Kera benar-benar merasa kalah, sudah ditinggalkan anak-beranak, masih ditinggali kotoran pula.
Kera marah sampai kehilangan akal sehat. Dia cari sembilu tajam, dipotongnya lidah yang dikotori tahi anak pipit hingga darah mengalir tanpa henti. Dia menggelepar kesakitan, jatuh, dan … mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar